Senin, 11 Januari 2010

TUGAS KELOMPOK (ETIKA BISNIS)

0 komentar

Minimarket Alfa vs. Minimarket Indo

ndofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya mini market di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfa. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.
Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indo dan Alfa. Siapa yang tidak kenal Indo? Dan siapa yang tidak kenal Alfa? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indo atau ke Alfa. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indo milik PT. marco Prismatama (Indo food Group) dan Alfa milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.
Indo ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai(lihat grafik perkembangan toko yang diambil dari www.indomaret.co.id ). Sedangkan Alfa berdasarkan penelusuran penulis di www.alfamartku.com memiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.
Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (diluar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indo marco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indo food Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indo, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari sabang sampai merauke.



Persaingan Tidak Seimbang

Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indo dan Alfa sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada Swa Sembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber.www.indomaret.co.id ) bahwa”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”
Jadi betapa agresifnya indo dan alfa dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.

Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa.!
Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau legih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah. ! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!
Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisionl. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.

Nama kelompok etika bisnis :

1. Da'i Hudaya (11206131)
2. Gema Mochamad (10206394)
3. Khoirul Adi wicaksono (10206524)

TUGAS KELOMPOK

0 komentar

tulisan 10 (etika bisnis)

0 komentar

Maraknya Pelanggaran Tata Ruang -- Terdesak Kepentingan Komersial dan Kekuasaan




Nov 22, '09 12:49 AMfor everyone

Pelanggaran tata ruang di Bali belakangan ini makin terasa marak. Hampir di seluruh kabupaten/kota terjadi, baik pelanggaran jalur hijau, sempadan pantai, sempadan sungai, penyerobotan lahan basah, kawasan suci dan lain-lain. Bahkan, muncul berbagai bangunan yang tak sesuai daerah peruntukan seperti hotel, vila, permukiman atau pun bangunan untuk kegiatan usaha. Peraturan daerah (perda) yang ada di daerah sebagai pengawal pembangunan sepertinya tak berdaya alias tak berguna, terdesak kepentingan bisnis dan ada juga karena kekuasaan. Pemkab/pemkot pun sepertinya tak kuasa membendung ''serangan'' pelanggaran tersebut, kemudian mendiamkan dan akhirnya perdanya harus mengalah untuk disesuaikan dengan di lapangan. Ada apa sebenarnya?

ADALAH Ketua Komisi B DPRD Badung, I Putu Parwata, menegaskan realitas yang terjadi saat ini hampir di seluruh sudut jalur hijau telah beralih fungsi dengan tujuan komersial. Puluhan bangunan komersial baik berupa gubuk semipermanen maupun bangunan permanen telah banyak berdiri, meski tanda larangan membangun di sekitar jalur hijau telah jelas terpampang.

Sementara, penegakan perda justru terkesan tebang pilih. Beberapa kasus yang mengemuka belakangan ini di antaranya maraknya pelanggaran jalur hijau, pelanggaran sempadan pantai, penyerobotan lahan basah dan soal kontroversi LED TV Bali di Simpang Dewa Ruci Kuta.

Kata Parwata, perkembangan pembangunan dan tuntutan ekonomi, memaksa pemilih lahan di jalur hijau untuk tidak lagi mempertahankan lahannya. Masyarakat pemilik lahan tidak bisa disalahkan, sebab mereka juga tidak mendapat jaminan atas fungsi ekonomis lahannya. Ia pun mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi yang realistis. Salah satu kemungkinan yakni dengan merevisi perda tentang jalur hijau. Sebab saat ini rujukan perda yang digunakan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan pembangunan.

Penataan kawasan di Badung juga sempat dikritisi anggota Komisi B, IGA Gede Jaya Adiputra. Dia menyebut, penataan kawasan masih amburadul. Misalnya penataan kawasan pariwisata dan daerah permukiman. Seperti halnya di kawasan Kuta dan Perumahan Dalung Permai. Agar kesemrawutan tidak meluas, dia meminta dalam konsep RTRW, RTRK, dan RDTR supaya jelas dibuat. Begitu juga dalam pelaksanaannya supaya jangan menyimpang dari konsep yang ada.

Salah satu kelemahan, selama ini RTRW tidak pernah disosialisasikan dengan jelas dari tingkat atas sampai masyarakat bawah. Hal ini praktis membuat masyarakat sebagai pelaksana sekaligus pengawasan langsung di lapangan tidak tahu aturan.

Sementara soal kasus LED TV di Simpang Dewa Ruci, Kuta, anggota Komisi B Wayan Puspa Negara menyebutkan polemik sebenarnya bisa dicegah jika Pemprov Bali tidak memaksakan kehendak alias bertangan besi, menganggap kabupaten sebagai perpanjangan tangan. Pemprov diminta untuk tetap berkoordinasi dengan pemkab termasuk melengkapi segala perizinan. Terlebih lagi, tiap kabupaten memiliki aturan tersendiri yang spesifik mengatur wilayahnya.

Macan Kertas

Adanya pelanggaran perda terkait pembangunan LED TV, lebih-lebih mencantumkan nama Bali Mandara pada sebuah pembangunan proyek, juga dikritisi pemerhati hukum Prof. Dr. IGN. Wairocana.

Dikatakan, sesungguhnya sah-sah saja hal itu dilakukan yang mencerminkan misi yang diemban pemerintahan di Bali sekarang. Namun, pencantuman Bali Mandara bukan berarti kekuasaan bisa mengalahkan peraturan daerah. Sebaliknya kekuasaan tersebut haruslah tunduk pada peraturan yang disepakati sebelumnya.

Persoalan kekuasaan bisa mengalahkan peraturan sesungguhnya bukan persoalan baru lagi. Sebelum era reformasi bergulir, kondisi ini sudah jamak terjadi. ''Siapa pun yang berkuasa, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya nyaris menjadikan setiap aturan yang ada tidak ubahnya seperti macan kertas. Aturan yang ada sedemikian rupa disimpangi, mesti sesungguhnya telah menghancurleburkan hati sekaligus perasaan masyarakat.

Suka atau tidak suka, memang ada saja penguasa dengan kekuasaan yang dimilikinya membuat kebijaksanaan alias melanggar atas aturan yang ada. ''Dari segi hukum administrasi, kondisi tersebut sesungguhnya sama sekali tidak dimungkinkan,'' ujarnya.

Bila seorang pejabat ingin menyimpang dari ketentuan perda, maka perda tersebut mesti dicabut terlebih dahulu. Namun, untuk mencabut sebuat perda, haruslah tetap mengikuti mekanisme yang ada. Pejabat tidak bisa semena-mena melakukannya, karena harus ada alasan yang jelas untuk itu. Lebih sangat aneh lagi, bila seorang pejabat membuat peraturan sendiri guna menyiati perda yang ada.

Dilihat dari tata hierarkis perundang-undangan sendiri, perda kedudukannya lebih tinggi dari sebuah perbup. Mestinya penyusunan sebuah perbup haruslah bersumber pada sebuah perda. Terkait persoalan pencantuman nama Bali Mandara pada pembangunan proyek Led TV, kata Wairocana, sesungguhnya sah-sah saja. Alasannya, Bali Mandara merupakan misi yang dikembangkan atau direncanakan Gubernur Mangku Pastika dalam perburuannya menduduki kursi Bali I. Namun, Bali Mandara janganlah dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan. ''Semua pihak haruslah tunduk tanpa kecuali terhadap perda yang ada. Jangan mentang-mentang pemegang kekuasaan, aturan demikian saja dikesampingkan,'' ujarnya.

Lalu kenapa persoalan tersebut bisa terjadi? Wairocana menduga hal itu bisa terjadi karena masing-masing pihak kurang bisa menerjemahkan dengan baik soal otonomi daerah. Masing-masing pihak merasa punya kekuasaan. Padahal sesungguhnya dalam aturan terbaru, tercantum secara tegas kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak. Semua pihak mesti menghormati aturan main yang ada. Antara pemerintah provinsi dan kabupaten mestinya terjadi koordinasi dengan baik. ''Jangan masing-masing pihak terbawa pada ego sektoral masing-masing,'' katanya.

Lebih tegas dikatakannya pihaknya sama sekali tidak setuju sebuah pembangunan proyek diembel-embeli dengan kekuasaan. Prinsip-prinsip pemerintahan yang baik akan menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Ujung-ujungnya akan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan itu sendiri. (ded/sub)

Sumber : http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=33&id=24982

tulisan 9 (etika bisnis)

0 komentar

TV Lokal Tak Berizin Melakukan Pelanggaran Berjamaah

Selasa, 19 Agustus 2008 17:25

Surabaya, Menjamurnya televisi lokal di Jawa Timur mendapat sorotan tajam. Apalagi stasiun televisi lokal yang belum mengantongi Izin Penyelanggaraan Penyiaran (IPP) sudah melakukan aktivitas bisnis, seperti mencari iklan.


Sebab saat ini yang dikantongi stasiun televisi lokal di Kota Pahlawan masih sebatas Rekomendasi Kelayakan (RK) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). RK ini diterbitkan KPID sebagai prasyarat mutlak untuk mendapatkan izin dari Menkominfo.

"RK itu hanya untuk uji coba siaran saja. Tidak boleh mencari, menerima iklan ataupun melakukan aktivitas bisnis lainnya," tegas Zainal Abidin Achmad, mantan anggota KPID Jatim Bidang Perencanaan dan Pengembangan saat dihubungi,Selasa (19/8/2008).

Namun, kata dia, bahwa persoalan itu sebenarnya sudah menjadi bahasan cukup lama di KPI. Karena lembaga penyiaran swasta yang belum mendapat IPP sudah berbisnis.

"Kenyataannya di lapangan sudah banyak yang bisnis. Tapi repot kalau pelanggaran itu dilakukan bersama-sama," tambah tenaga pengajar UPN Veteran Surabaya ini.

Karena menurut dia itu sebuah pelanggaran, yang berhak menertibkan adalah Ditjen Postel, dalam hal ini Balai Monitoring Kelas II. "Sanksi mulai peringatan tertulis, pencabutan hingga denda," ujar Abidin.

Abidin memandang, pelanggaran itu tidak semata-mata karena kesengajaan. Salah satu faktor mungkin disebabkan karena berlarut-larutnya proses di tingkat pusat. "RK sudah didapat, nah bola di tangan pemerintah. Mungkin karena gemes, mereka cari iklan," pungkas Abidin. (kilasberita.com/als/dtc)

Sumber : http://www.kilasberita.com/kb-tech/lain-lain/3171-tv-lokal-tak-berizin-melakukan-pelanggaran-berjamaah

tulisan 8 (etika bisnis)

0 komentar

Kelangkaan Elpiji Indikasi Pelanggaran UU Antimonopoli

Jumat, 23 Januari 2009 02:59 WIB | Ekonomi & Bisnis

Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kelangkaan elpiji merupakan indikasi pelanggaran terhadap Undang-undang Antimonopili dan persaingan usaha yang tidak sehat.

"Kami menduga ada tiga pelanggaran terhadap UU 5/1999,"kata Ketua KPPU Benny Pasaribu di Jakarta, Kamis.

Benny mengatakan ada semacam kartel vertikal antara Pertamina dengan agen distributornya yang menyebabkan kelangkaan pasokan elpiji ukuran tabung 3 kg yang bersubsidi.

"Ketika harga antara tabung 3 kg dengan 12 kg jauh berbeda, suplainya digeser untuk elpiji non subsidi yang ukuran 12 kg dan 50 kg,"ujarnya.

Distribusi elpiji juga cenderung tidak sehat karena Peraturan Menteri ESDM No.21/2007 telah menciptakan "entry barrier" yang mengakibatkan sulitnya perusahaan baru untuk masuk dalam bisnis tersebut.

"Syaratnya harus memiliki kilang pengolahan BBM, tidak semua perusahaan mampu melakukan itu,"tuturnya.

Benny meminta Menteri ESDM untuk meninjau ulang aturan tersebut karena tidak mendorong persaingan usaha yang sehat. Selain itu, pemerintah juga harus membenahi distribusi elpiji seperti halnya distribusi premium. "Perbanyak agennya, SPBU saja banyak ada di mana-mana. Stasiun pengisian gas elpiji harus ditambah,"katanya.

Anggota KPPU, Dedie Martadisastra mengatakan kelangkaan elpiji terutama terjadi karena mekanisme pengawasan proses distribusi yang kurang memadai, infrastruktur terbatas dan terbatasnya pasokan elpiji.

Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan pemerintah untuk membuat strategi besar perencanaan yang tepat terkait program konversi energi. Selain itu pemerintah juga harus menjamin distribusi berjalan lancar sehingga dapat menjamin ketersediaan pasokan elpiji bagi konsumen akhir serta jaminan harga jual elpiji di titik konsumen yang wajar.

"Perlu pengawasan yang ketat dalam pendistribusian elpiji sampai ketingkat konsumen,"tambahnya.

KPPU juga meminta pemerintah untuk menetapkan formula harga jual elpiji non subsidi seperti elpiji subsidi (ukutan 3 kg).(*)

Sumber : http://www.antara.co.id/view/?i=1232654397&c=EKB&s=

tulisan 7 (etika bisnis)

0 komentar
Passing Off, Modus Baru Pelanggaran Merk

BERITA - ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com - JAKARTA, SELASA - Modus pelanggaran merek telah bergerak ke tingkat yang lebih canggih.

Bila dulu pelanggaran ini dilakukan dengan memasang merek, logo, dan bahan persis dengan yang asli, sekarang penggunaan merek yang mirip dengan merek lain yang sudah terdaftar serta penggunaan merek yang sama dan atau mirip dengan merek lain sehingga menimbulkan kesalahan persepsi di benak masyarakat sudah mulai marak. Pelanggaran merek ini disebut passing off.

Sayang, sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur passing off sehingga hal ini belum bisa dikatakan sebagai pelanggaran. Passing off saat ini baru bisa dikatakan sebagai persaingan curang yang dilakukan produsen yang tidak bertanggung jawab.

Dalam periode Januari-Agustus 2008, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI) mencatat 89 pelanggaran merek termasuk passing off yang terdaftar. Kepala Sub Direktorat Pelayanan Hukum Merek Dirjen HAKI Didik Taryadi mengatakan di 89 kasus ini, terdeteksi juga beberapa kasus-kasus passing off.

Karena tak ada UU khusus mengenai persaingan curang ini ( passing off), Dirjen HKI hanya menangani kasus-kasus passing off yang juga terindikasi terjadi pelanggaran merek. "Karena menggunakan suatu bentuk, tampilan atau desain merek tertentu dan tidak terdaftar sebagai merek. Hal ini belum diatur secara khusus dalam UU Merek," ujar Didik dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurut Didik, di Indonesia ancaman pidana yang kuat baik dari KUHAP maupun UU Merek hanya ditujukan untuk kasus pelanggaran merek, padahal kasus passing off yang tergolong dalam persaingan curang (unfair competition) cukup banyak terjadi. Di negara lain, salah satunya Jepang, UU khusus mengatur soal persaingan curang sudah ada.

Legal Manager PT Nestle Indonesia Rini Dharmawati mengatakan Nestle pernah menghadapi kasus passing off ini. Nestle sebagai pemegang merek Milo untuk produk susu coklat dan coklat merasa dirugikan dengan produk wafer dan permen coklat bermerk Camilo yang memakai desain dan komposisi warna yang hampir sama dengan merek Milo.

Setelah ditelusuri, ternyata merek ini tercantum di Dirjen HAKI. "Kami lalu melakukan investigasi hingga menemukan pabrik tempat produksi. Memang selesai, tapi melalui prosesnya tidak mudah ya," ujar Rini pada kesempatan yang sama.

Karena itu, dalam pembahasan revisi UU Merek, Dirjen HAKI sedang membahas pembentukan UU khusus tentang persaingan curang. "Kalau kita punya UU unfair competition dari sisi haki, ini lebih ke persaingan curang. Kalau dari KUHP, ancamannya kecil dan tidak efektif. UU ini dapat mengakomodasi apa yang tidak dapat dijangkau oleh UU HAKI atau merek," tandas Didik.

Sumber : http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/passing_off_modus_baru_pelanggaran_merek

tulisan 6 (etika bisnis)

0 komentar
Dell Dituntut Karena Baterai Laptop

Rabu, 17 Januari 2007 | 14:20 WIB

TEMPO Interaktif, ONTARIO:Perusahaan manufaktur komputer Dell kembali menghadapi tuntutan berkaitan dengan beberapa kasus baterai panas (overheat) yang terjadi pada komputer jinjing buatannya. Kali ini tuduhan dilayangkan beberapa pengguna dari Kanada terhadap lima model laptop Dell, yaitu Inspiron 1100, 1150, 5100, 5150, dan 5160.

Menurut tuduhan, model-model di atas adalah laptop Dell yang paling sering bermasalah setelah masa garansi setahun dari Dell habis. Thad Griffin, salah satu penggugat asal Aurora, Ontario, merasa dirugikan karena harus mengeluarkan ratusan dolar untuk memperbaiki laptopnya yang rusak.

Dalam kasus ini, Dell dituduh lalai karena tetap mendesain, membuat, serta memasarkan komputer-komputer bermasalah itu walaupun telah ada laporan problem yang timbul.

"Aksi ini adalah upaya untuk mendapatkan kompensasi yang adil terhadap konsumen Kanada pemilik laptop yang rusak," ujar Joel Rochon, pengacara Griffin dari kantor pengacara Rochon Genova.

Kasus ini bukan pertama kalinya bagi Dell. Perusahaan komputer asal Texas itu pada September lalu juga pernah mendapatkan tuntutan yang sama di pengadilan distrik Northern District of California. Dalam sidang itu, Dell setuju untuk memperpanjang garansi terbatas selama setahun kepada penggugatnya sehingga segala penggantian AC adapter, heatsink, motherboard, serta ongkos perbaikan ditanggung Dell.

http://www.tempointeraktif.com/hg/it/2007/01/17/brk,20070117-91437,id.html

tulisan 5 (etika bisnis)

0 komentar
Daftar Pelanggaran Century Temuan BPK
BPK menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih.

Rabu, 30 September 2009, 11:11 WIB
Heri Susanto, Nur Farida Ahniar

VIVAnews - Hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa pelanggaran terhadap indikasi praktik operasi perbankan di Bank Century yang tidak sehat. Praktik tersebut merugikan bank dan berpotensi merugikan negara.

Hasil audit interim BPK atas Century itu telah diserahkan kepada DPR pada 28 September 2008. Laporannya terdiri atas 8 halaman dengan ukuran huruf yang relatif kecil.

Dalam laporan pemeriksaan itu, BPK menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih yaitu:

1. Pengelapan hasil surat berharga senilai US$ 7 juta.
2. Hasil penjualan surat-surat berharga Rp 30,28 miliar dijadikan jaminan pengambilan kredit oleh pihak terkait, namun kredit tersebut mengalami kemacetan.
3. Pemberian kredit L/C fiktif Rp 397,97 miliar pada pihak terkait dan pemberian L/C fiktif sebesar US$ 75,5 juta.
4. Surat-surat berharga Bank Century tidak diterima oleh Bank Century karena masih dikuasai oleh salah satu pemegang saham.
5. Manajemen Bank Century diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp 209,8 miliar dan US$ 4,72 juta sejak 2004-2008.

Sumber : http://bisnis.vivanews.com/news/read/93234-apa_saja_pelanggaran_century_temuan_bpk

Tulisan 4 (etika bisnis)

0 komentar

Masih Banyak Pelanggaran dalam Praktik Outsourcing

Jumat, 01 Februari 2008 - 11:47 WIB

Mengalihkan sebagian pekerjaan yang ada di dalam perusahaan kepada pihak lain melalui penyedia jasa tenaga kerja, atau disebut outsourcing, telah menjadi praktik yang lazim dalam dunia bisnis di Tanah Air. Namun, dari segi hukum harus diakui masih banyak terjadi pelanggaran.

Hal itu diungkapkan oleh penasihat hukum spesialis hukum ketenagakerjaan Kemalsjah Siregar dalam acara Forum Kajian Manajemen di Kampus PPM, Jakarta Pusat, Kamis (31/1/08). Menurut dia, banyak praktik outsourcing yang diselewangkan untuk semata-mata mencari keuntungan.

"Ada kecenderungan memanfaatkan kesulitan orang lain untuk menghambil untung," papar Kemalsjah. Kesulitan orang lain yang dimaksud adalah banyaknya orang yang masih menganggur karena sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Dia juga melihat, banyak perusahaan melakukan outsourcing bukan atas dasar kebutuhan dan sesuai dengan aturan hukum yang ada, melainkan hanya karena tidak mau repot dengan urusan-urusan ketenagakerjaan.

"Jujur saja, perusahaan melakukan oursourcing karena nggak mau repot kalau nanti terjadi PHK, dan agar tidak perlu memberi pesangon kepada karyawan yang di-PHK," tutur Kemalsjah blak-blakan.

Lebih jauh dia menyoroti bahwa pembicaraan mengenai outsourcing cenderung dilebih-lebihkan ketimbang fakta yang ada di lapangan. Sehingga seolah-olah outsourcing telah menjadi segalanya dalam praktik bisnis.

"Ada hotel yang meng-outsource semua karyawannya, ketika saya tanya mengapa melakukan itu, mereka bilang karena di mana-mana juga begitu. Tapi, apa bener di mana-mana begitu? Orang hanya bicara tanpa riset, tidak sesuai dengan kenyataannya," ujar dia.

Kemalsjah menegaskan, dirinya tidak anti-outsorucing namun mengaku tidak bisa tinggal diam melihat praktik oursourcing yang tidak sesuai aturan ketenagakerjaan.

Dicontohkan, belakangan praktik outsourcing marak dalam industri perbankan dimana banyak bank meng-outsource karyawan untuk posisi teller.

"Menurut peraturan, outsource hanya boleh dilakukan untuk kegiatan perusahaan yang bersifat penunjang, bukan utama. Teller itu utama dalam bisnis bank karena kalau tidak ada teller, bagaimana bank bisa beroperasi? Jadi kalau teller di-outsource itu sudah terjadi pelanggaran," tandas dia.

Namun, narasumber lainnya, Partner pada PT Advance Career Indonesia Malla Latif berpendapat lain. Menurut hemat pengusaha yang merintis bisnis penyedia jasa tenaga kerja sejak 8 tahun lalu itu, kondisi sekarang sudah banyak berubah.

"Dalam konteks outsourcing, mana kegiatan perusahaan yang utama dan mana yang penunjang, atau istilahnya core dan non-core sudah mengalami pergeseran sesuai perubahan iklim bisnis global," ujar dia.

Malla berpendapat, sah saja kalau di era sekarang ini bank menganggap teller sebagai penunjang karena memang keberadaannya sudah bisa digantikan. "Sekarang orang lebuh senang menggunakan ATM, bisa ngapain aja bahkan mendeposit uang pun sudah bisa dilakukan lewat ATM," dia memberikan contoh.

Lebih jauh Malla mengingatkan, dalam konteks global, para pelaku bisnis saat ini tidak bisa lagi menghindar dari tatanan yang berlaku di tingkat dunia. "Kita bisa lari tapi nggak bisa sembunyi. Fenomena yang terjadi secara global mau tidak mau juga akan menjadi kenyataan di dalam negeri," kata dia.

Dalam hal ini dia melihat, outsourcing telah berkembang sangat pesat, dan berkembang menjadi bisniss process outsourcing, bahkan knowledge process outsourcing. Oleh karenanya Malla mengajak semua pihak untuk tidak terjebak dalam berdebatan tentang core dan non-core yang tak pernah ada habisnya.

Di lapangan kondisinya sudah luar biasa. Permintaan banyak, vendor juga banyak. Daripada mengotak-atik praktiknya, lebih baik membenahi peraturannya karena (outsourcing) ini membantu sekali mengatasi pengangguran yang sangat besar," ujar Malla.

Sumber : http://www.portalhr.com/beritahr/hubungan/1id891.html

Selasa, 05 Januari 2010

tulisan etika bisnis

0 komentar
Tiada lagi SMS Gratis Lintasoperator dari Telkomsel
Senin, 04 Januari 2010 21:20 WIB
Penulis : Rina Garmina


JAKARTA--MI: Telkomsel menghentikan program SMS gratis lintasoperator mulai 6 Januari 2010. Penghentian program merupakan bentuk kepatuhan terhadap regulasi dalam menjalankan operasional perusahaan.

Regulasi yang dimaksud adalah Surat Plt Dirjen Postel selaku Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nomor 306/BRTI/XII/2009 tentang larangan promosi tarif nol dan pemberian bonus gratis untuk layanan SMS antaroperator.

Menurut anggota BRTI Heru Sutadi, BRTI sebenarnya telah menerbitkan larangan untuk penawaran SMS gratis lintasoperator pada Desember 2008 yang dituangkan lewat Surat Dirjen Postel selaku Ketua BRTI Nomor 325/BRTI/XII/2008.  Namun, berhubung operator masih menawarkan SMS gratis lintasoperator, BRTI kembali melarang operator telekomunikasi.

"BRTI menegaskan hingga saat ini para penyelenggara telekomunikasi masih dilarang untuk menawarkan tarif nol dalam promosi dan pemberian bonus gratis untuk layanan SMS lintas penyelenggara telekomunikasi," papar Heru kepada Media Indonesia di Jakarta, Senin (4/1).

Berlatar belakang adanya Surat Plt Dirjen Postel tersebut, Telkomsel akan mulai menghentikan program SMS gratis lintasoperator pada 6 Januari 2010. "Setuju karena kompetisi akan berjalan lebih wajar," kata Direktur Utama Telkmsel Sarwoto Atmosutarno kepada Media Indonesia di Jakarta, Senin (4/1).

Ketika ditanya mengapa Telkomsel menyetujui regulasi tersebut, Sarwoto mengungkapkan bahwa program SMS gratis lintasoperator hanya menguntungkan operator pengirim. Sementara itu di pihak operator penerima SMS menjadi beban jaringan.

Bisa begitu karena sistem penarifan untuk SMS gratis lintasoperator menggunakan pola sender keep all. Skema tersebut, tegas Sarwoto, tidak adil. (Noy/OL-03)

tulisan etika bisnis

0 komentar
Selasa, 05/01/2010 17:58 WIB
PLN Tak Ikut Bangun Penampung LNG Terapung di Teluk Jakarta
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance

Jakarta - PT PLN (Persero) hanya akan menjadi pembeli gas dari LNG floating storage receiving unit yang akan dibangun di Teluk Jakarta.

"Dalam hal ini, PLN ingin minta sebagai buyer saja, tidak masuk dalam pembangunannya," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Evita Herawati Legowo di Gedung Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (5/1/2009).

Evita menyatakan, baik PT Perusahaan Gas Negara (PGN) tbk maupun PT Pertamina (Persero) yang awalnya akan menjadi partner PLN dalam konsorsium pembangunan LNG Floating Terminal tersebut, sudah menyetujui keinginan PLN tersebut.

"Pertamina dan PGN mengiyakan," kata dia.

Pemerintah juga telah menyetujui hal tersebut karena pembentukan konsorsium tersebut bersifat b to b.

"Iya, itu b to b kok," tandas Evita.

Seperti diketahui, Perusahaan Gas Negara (PGN), PT Pertamina (Persero) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menandatangani Head of Agreement (HoA) pembangunan LNG floating storage receiving unit di Teluk Jakarta pada 16 April 2009. Pembangunan proyek ini ditargetkan selesai awal 2012.

Dana pembangunan LNG floating storage receiving unit berasal dari internal ketiga BUMN tersebut. Dalam kerjasama tersebut Pertamina menjadi mayoritas. Sementara PLN, selain memiliki saham, nantinya akan menjadi pembeli (offtaker).

Pasokan gas untuk terminal penerima tersebut berasal dari kilang Bontang di Kalimantan Timur sekitar 1,5 juta Metrik Ton (MT).